Study My Private Collections

Enjoy ur life with ur own ways with not to ignore the rules that existed....

KESANTUNAN BERBAHASA

A. LATAR BELAKANG

Kita tahu bahwa masyarakat kita (indonesia) sangat menjunjung kesantunan dalam berbahasa. Makna yang akan disampaikan tidak hanya terkait dengan pemilihan kata, tetapi juga cara penyampaiannya. Sebagai contoh, pemilihan kata yang tepat apabila disampaikan dengan cara kasar akan tetap dianggap kurang santun. Kesantunan memang amat penting di mana pun individu berada. Setiap anggota masyarakat percaya bahwa kesantunan yang diterapkan mencerminkan budaya suatu masyarakat, termasuk kesantunan berbahasa. Apalagi setiap masyarakat selalu ada hierarkhi sosial yang dikenakan pada kelompok-kelompok anggota mereka. Hal ini terjadi karena mereka telah menentukan penilaian tertentu, misalnya, antara tua – muda, majikan – buruh, guru – murid, kaya – miskin, dan status lainnya. Selain itu, faktor konteks juga menyebabkan kesantunan perlu diterapkan. Suasana formal atau resmi sangat menekankan kesantunan ini. Penilaian yang diberikan kepada hierarkhi sosial merupakan penilaian emotif yang diberikan kepada seseorang individu atau kelompok. Penilaian sepeti ini merupakan tanda hormat atau apresiasi kepada yang bersangkutan. Kalau diteliti lebih jauh, fenomena ini sudah diterapkan oleh masyarakat kita sejak dulu.

B. LANDASAN TEORI

1. Pengertian Kesantunan
Kesantunan (politiness), kesopansantunan, atau etiket adalah tatacara, adat, atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial. Oleh karena itu, kesantunan ini biasa disebut “tatakrama”.
Berdasarkan pengertian tersebut, kesantunan dapat dilihat dari berbagai segi dalam pergaulan sehari-hari. Pertama, kesantunan memperlihatkan sikap yang mengandung nilai sopan santun atau etiket dalam pergaulan sehari-hari. Ketika orang dikatakan santun, maka dalam diri seseorang itu tergambar nilai sopan santun atau nilai etiket yang berlaku secara baik di masyarakat tempat seseorang itu megambil bagian sebagai anggotanya. Ketika dia dikatakan santun, masyarakat memberikan nilai kepadanya, baik penilaian itu dilakukan secara seketika (mendadak) maupun secara konvensional (panjang, memakan waktu lama). Sudah barang tentu, penilaian dalam proses yang panjang ini lebih mengekalkan nilai yang diberikan kepadanya.
Kedua, kesantunan sangat kontekstual, yakni berlaku dalam masyarakat, tempat, atau situasi tertentu, tetapi belum tentu berlaku bagi masyarakat, tempat, atau situasi lain. Ketika seseorang bertemu dengan teman karib, boleh saja dia menggunakan kata yang agak kasar dengan suara keras, tetapi hal itu tidak santun apabila ditujukan kepada tamu atau seseorang yang baru dikenal. Mengecap atau mengunyah makanan dengan mulut berbunyi kurang sopan kalau sedang makan dengan orang banyak di sebuah perjamuan, tetapi hal itu tidak begitu dikatakan kurang sopan apabila dilakukan di rumah.
Ketiga, kesantunan selalu bipolar, yaitu memiliki hubungan dua kutub, seperti antara anak dan orangtua, antara orang yang masih muda dan orang yang lebih tua, antara tuan rumah dan tamu, antara pria dan wanita, antara murid dan guru, dan sebagainya.
Keempat, kesantunan tercermin dalam cara berpakaian (berbusana), cara berbuat (bertindak), dan cara bertutur (berbahasa).

2. Jenis Kesantunan
Norma kesantunan dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu kesantunan berpakaian, kesantunan berbuat, dan kesantunan berbahasa. Selain kesantunan dalam berpakaian, dua kesantunan lainnya tidak mudah dirinci karena tidak ada norma baku yang dapat digunakan untuk kedua jenis kesantunn tersebut.
Dalam kesantunan berpakaian (berbusana, berdandan), ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, berpakaianlah yang sopan di tempat umum, yaitu hindarilah pakaian yang dapat merangsang orang lain terutama lawan jenis, seperti pakaian tembus pandang (transparan), menampakkan bagian badan yang pada umumnya ditutup, dan rok yang terlalu mini atau terbelah terlalu tinggi. Kedua, berpakaianlah yang rapi dan sesuai dengan keadaan, yaitu berpakaian resmi pada acara resmi, berpakaian santai pada situasi santai, berpakaian renang pada waktu renang. Betapapun mahalnya pakaian renang, tidak akan sesuai apabila dipakai dalam suatu acara resmi.
Kesantunan perbuatan adalah tatacara bertindak atau gerak-gerik ketika menghadapi sesuatu atau dalam situasi tertentu, misalnya ketika menerima tamu, bertamu ke rumah orang, duduk di ruang kelas, menghadapi orang yang kita hormati, berjalan di tempat umum, menunggu giliran (antre), makan bersama di tempat umum, dan sebagainya. Masing-masing situasi dan keadaan tersebut memerlukan tatacara yang berbeda-beda. Pada waktu makan bersama, misalnya, memerlukan kesantuan dalam cara duduk, cara mengambil makanan, cara makan atau mengunyah, cara memakai sendok, cara membersihkan mulut setelah makan, dan cara memakai tusuk gigi. Contoh lain terkait dengan kesantunan tindakan yaitu, misalnya tidaklah santun apabila kita berwajah murung ketika menerima tamu, duduk dengan “jigrang” ketika mengikuti kuliah dosen, bertolak pinggang ketika berbicara dengan orang tua, mendahului orang lain dengan bersenggolan badan atau ketika berjalan di tempat umum tanpa sebab, nyelonong ke loket ketika yang lain sedang antre menanti giliran, menguap selebar-lebarnya sambil mengeluarkan suara di depan orang lain, dan mencungkil gigi tanpa menutup mulut ketika sedang makan bersama di tempat umum.
Kesantunan berbahasa tecermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tatacara berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada norma-norma budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan ide-ide yang ada dalam pikiran kita. Tatacara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat di mana kita tinggal untuk berkomunikasi dengan masyarakat sekitar. Apabila tatacara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan norma-norma budaya, maka ia akan mendapatkan nilai negatif, misalnya dituduh sebagai orang yang sombong, angkuh, tak acuh, egois, tidak beradat, bahkan tidak berbudaya. Tatacara berbahasa sangat penting diperhatikan oleh para peserta komunikasi (komunikator dan komunikan) demi kelancaran komunikasi. Oleh karena itu, masalah tatacara berbahasa ini harus mendapatkan perhatian, terutama dalam proses belajar mengajar bahasa. Dengan mengetahui tatacara berbahasa, orang diharapkan lebih bisa memahami pesan yang disampaikan dalam berkomunikasi, karena sebenarnya tatacara berbahasa bertujuan untuk mengatur serangkaian hal berikut:
1. Apa yang sebaiknya dikatakan pada waktu dan keadaan tertentu.
2. Ragam bahasa apa yang sewajarnya dipakai dalam situasi tertentu.
3. Kapan dan bagaimana orang harus menunggu giliran untuk berbicara atau pembicaraan sela diterapkan.
4. Bagaimana mengatur kenyaringan suara ketika berbicara.
5. Bagaimana sikap dan gerak-gerik ketika berbicara.
6. Kapan orang harus diam dan mengakhiri pembicaraan.
Tatacara berbahasa seseorang biasanya dipengaruhi oleh norma-norma budaya, suku bangsa atau kelompok masyarakat tertentu. Misalnya, tatacara berbahasa orang Inggris berbeda dengan tatacara berbahasa orang Amerika meskipun mereka sama-sama berbahasa Inggris. Begitu pula tatacara berbahasa orang Jawa bebeda dengan tatacara berbahasa orang Batak meskipun mereka sama-sama berbahasa Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kebudayaan yang sudah mendarah daging pada diri seseorang berpengaruh pada pola berbahasanya. Itulah sebabnya kita perlu mempelajari atau memahami norma-norma budaya sebelum atau di samping mempelajari bahasa, karena tatacara berbahasa yang mengikuti norma-norma budaya akan menghasilkan kesantunan berbahasa.

3. Aspek-aspek Non--Linguistik yang Mempengaruhi Kesantunan Berbahasa
Karena tatacara berbahasa selalu dikaitkan dengan penggunaan bahasa sebagai sistem komunikasi, maka selain unsur-unsur verbal, unsur-unsur nonverbal yang selalu terlibat dalam berkomunikasi pun perlu diperhatikan. Unsur-unsur nonverbal yang dimaksud adalah unsur-unsur paralinguistik, kinetik, dan proksemika. Pemerhatian unsur-unsur ini juga dalam rangka pencapaian kesantunan berbahasa. Paralinguistik berkenaan dengan ciri-ciri bunyi seperti suara berbisik, suara meninggi, suara rendah, suara sedang, suara keras, atau pengubahan intonasi yang menyertai unsur verbal dalam berbahasa.
Penutur mesti memahami kapan unsur-unsur ini diterapkan ketika berbicara dengan orang lain kalau ingin dikatakan santun. Misalnya, ketika ada seorang penceramah berbicara dalam suatu seminar, kalau peserta seminar ingin berbicara dengan temannya, adalah santun dengan cara berbisik agar tidak mengganggu acara yang sedang berlangsung; tetapi kurang santun berbisik dengan temannya dalam pembicaraan yang melibatkan semua peserta karena dapat menimbulkan salah paham pada peserta lain. Suara keras yang menyertai unsur verbal penutur ketika berkomunikasi dengan atasannya bisa dianggap kurang sopan, tetapi hal itu dapat dimaklumi apabila penutur berbicara dengan orang yang kurang pendengarannya. Gerak tangan, anggukan kepala, gelengan kepala, kedipan mata, dan ekspresi wajah seperti murung dan senyum merupakan unsur kinesik (atau ada yang menyebut gesture, gerak isyarat) yang juga perlu diperhatikan ketika berkomunikasi. Apabila penggunaannya bersamaan dengan unsur verbal dalam berkomunikasi, fungsinya sebagai pemerjelas unsur verbal. Misalnya, seorang anak diajak ibunya ke dokter, ia menjawab “Tidak, tidak mau” (verbal) sambil menggeleng-gelengkan kepala (kinesik). Akan tetapi, apabila penggunaannya terpisah dari unsur verbal, fungsinya sama dengan unsur verbal itu, yaitu menyampaikan pesan kepada penerima tanda. Misalnya, ketika bermaksud memanggil temannya, yang bersangkutan cukup menggunakan gerak tangan berulang-ulang sebagai pengganti ucapan “Hai, ayo cepat ke sini!”.
Sebenarnya banyak gerak isyarat (gesture) digunakan secara terpisah dengan unsur verbal karena pertimbangan tertentu. Misalnya, karena ada makna yang dirahasiakan, cukup dengan mengerdipkan mata kepada lawan komunikasi agar orang di sekelilingnya tidak tahu maksud komunikasi tersebut. Seorang ayah membentangkan jari telunjuk secara vertikal di depan mulut agar anaknya (penerima tanda) segera diam karena sejak tadi bercanda dengan temannya saat khutbah Jumat berlangsung. Masih banyak contoh lain yang bisa diketengahkan berkaitan dengan kinetik ini. Namun, yang perlu diperhatikan dalam konteks ini adalah kinetik atau gerak isyarat (gesture) dapat dimanfaatkan untuk menciptakan kesantunan berbahasa, dan dapat pula disalahgunakan untuk menciptakan ketidaksantunan berbahasa.
Ekspresi wajah yang senyum ketika menyambut tamu akan menciptakan kesantunan, tetapi sebaliknya ekspresi wajah yang murung ketika berbicara dengan tamunya dianggap kurang santun. Unsur nonlinguistik lain yang perlu diperhatikan ketika berkomunikasi verbal adalah proksemika, yaitu sikap penjagaan jarak antara penutur dan penerima tutur (atau antara komunikator dan komunikan) sebelum atau ketika berkomunikasi berlangsung. Penerapan unsur ini akan berdampak pada kesantunan atau ketidaksantunan berkomunikasi. Ketika seseorang bertemu dengan teman lama, setelah beberapa lama berpisah, ia langsung berjabat erat dan berangkulan; dilanjutkan dengan saling bercerita sambil menepuk-nepuk bahu. Tetapi, ketika ia bertemu dengan mantan dosennya, walaupun sudah lama berpisah, ia langsung menundukkan kepala sambil berjabat tangan dengan kedua tangannya. Si mantan dosen, sambil mengulurkan tangan kanannya, tangan kirinya menepuk bahu mahasiswa yang bersangkuan.
Pada contoh kedua peristiwa itu, terlihat ada perbedaan jarak antara pemberi tanda dan penerima tanda. Apabila penjagaan jarak kedua peristiwa itu dipisahkan, maka akan terlihat janggal, bahkan dinilai tidak sopan. Masih banyak contoh lain yang berkaitan dengan proksemika ini, misalnya sikap dan posisi duduk tuan rumah ketika menerima tamu, posisi duduk ketika berbicara dengan pimpinan di ruang direksi, sikap duduk seorang pimpinan ketika berbicara di hadapan anak buahnya, dan sebagainya. Yang jelas, penjagaan jarak yang sesuai antara peserta komunikasi akan memperlihatkan keserasian, keharmonisan, dan tatacara berbahasa.
Berdasarkan beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa unsur paralinguistik, kinetik, dan proksemika yang sesuai dengan situasi komunikasi diperlukan dalam penciptaan kesantunan berbahasa. Pengaturan ketiga unsur ini tidak kaku dan absolut karena berbeda setiap konteks situasi. Yang penting, bagaimana ketiga unsur bisa menciptakan situasi komunikasi yang tidak menimbulkan salah paham dan ketersinggungan kepada yang diajak berkomunikasi.
Selain ketiga unsur di atas, hal lain yang perlu diusahakan adalah penjagaan suasana atau situasi komunikasi oleh peserta yang terlibat. Misalnya, sewaktu ada acara yang memerlukan pembahasan bersama secara serius, tidaklah sopan menggunakan telepon genggam (handphone) atau menerima telepon dari luar, apalagi dengan suara keras. Kalau terpaka menggunakan atau menerima telepon, sebaiknya menjauh dari acara tersebut atau suara diperkecil. Kecenderungan mendominasi pembicaraan, berbincang-bincang dengan teman sebelah ketika ada pertemuan dalam forum resmi, melihat ke arah lain dengan gaya melecehkan pembicara, tertawa kecil atau sinis merupakan sebagian cara yang tidak menjaga suasana komunikasi yang kondusif, tenteram, dan mengenakkan, yang bisa berakibat mengganggu tujuan komunikasi.

C. PEMBAHASAN MASALAH

Kesantunan berbahasa pada hakikatnya harus memperhatikan empat prinsip. Pertama, penerapan prinsip kesopanan (politeness principle) dalam berbahasa. Prinsip ini ditandai dengan memaksimalkan kesenangan/kearifan, keuntungan, rasa salut atau rasa hormat, pujian, kecocokan, dan kesimpatikan kepada orang lain dan meminimalkan hal-hal tersebut pada diri sendiri. Dalam berkomunikasi, di samping menerapkan prinsip kerja sama (cooperative principle) dengan keempat maksim (aturan) percakupannya, yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara; berkumunikasi juga menerapkan prinsip kesopanan dengan keenam maksimnya, yaitu:


1. maksim kebijakan yang mengutamakan kearifan bahasa,
2. maksim penerimaan yang menguatamakan keuntungan untuk orang lain dan kerugian untuk diri sendiri,
3. maksim kemurahan yang mengutamakan kesalutan/rasa hormat pada orang lain dan rasa kurang hormat pada diri sendiri,
4. maksim kerendahan hati yang mengutamakan pujian pada orang lain dan rasa rendah hati pada diri sendiri,
5. maksim kecocokan yang mengutamakan kecocokan pada orang lain, dan
6. maksim kesimpatisan yang mengutakan rasa simpati pada orang lain.
Dengan menerapkan prinsip kesopanan ini, orang tidak lagi menggunakan ungkapan-ungkapan yag merendahkan orang lain sehingga komunikasi akan berjalan dalam situasi yang kondusif. Berikut ini contoh yang memperlihatkan bahwa si A mengikuti prinsip kesopanan dengan memaksimalkan pujian kepada temannya yang baru saja lulus magister dengan predikat cumlaud dan tepat waktu, tetapi si B tidak mengikuti prinsip kesopanan karena memaksimalkan rasa hormat atau rasa hebat pada diri sendiri.
A : Selamat, Anda lulus dengan predikat maksimal!
B : Oh, saya memang pantas mendapatkan predikat cumlaud.
Kedua, penghindaran pemakaian kata tabu (taboo). Pada kebanyakan masyarakat, kata-kata yang berbau seks, kata-kata yang merujuk pada organ-organ tubuh yang lazim ditutupi oleh pakaian, kata-kata yang merujuk pada sesuatu benda yang menjijikkan, dan kata-kata “kotor” serta “kasar” termasuk kata-kata tabu dan tidak lazim digunakan dalam berkomunikasi sehari-hari, kecuali untuk tujuan-tujuan tertentu. Contoh berikut ini merupakan kalimat yang menggunakan kata tabu karena diucapkan oleh mahasiswa kepada dosen ketika perkuliahan sedang berlangsung.
- Pak, mohon izin sebentar, saya mau buang air besar.
Ketiga, sehubungan dengan penghindaran kata tabu, penggunaan eufemisme, yaitu ungkapan penghalus. Penggunaan eufemisme ini perlu diterapkan untuk menghindari kesan negatif. Contoh kalimat mahasiswa yang tergolong tabu di atas akan menjadi ungkapan santun apabila diubah dengan penggunaan eufemisme, misalnya sebagai berikut.
- Pak, mohon izin sebentar, saya mau ke kamar kecil.
(Atau, menggunakan kata-kata yang paling halus)
- Pak, mohon izin sebentar, saya mau ke belakang.
Dalam kehidupan sehari-hari, yang perlu diingat adalah eufemisme harus digunakan secara wajar, dan tidak berlebihan. Jika eufemisme telah menggeser pengertian suatu kata, bukan untuk memperhalus kata-kata yang tabu, maka eufemisme justru berakibat ketidaksantunan, bahkan pelecehan. Misalnya, penggunaan eufemisme dengan menutupi kenyataan yang ada. Hal ini biasanya sering digunakan oleh para pejabat tinggi, yaitu kata “miskin” diganti dengan “prasejahtera”, “kelaparan” diganti dengan “busung lapar”, “penyelewengan” diganti “kesalahan prosedur, “ditahan” diganti “dirumahkan”, dan sebagainya. Di sini terjadi kebohongan publik. Kebohongan itu termasuk bagian dari ktidaksantunan berbahasa.
Keempat, penggunaan pilihan kata honorifik, yaitu ungkapan hormat untuk berbicara dan menyapa orang lain. Penggunaan kata-kata honorifik ini tidak hanya berlaku bagi bahasa yang mengenal tingkatan (undha-usuk, Jawa) tetapi berlaku juga pada bahasa-bahasa yang tidak mengenal tingkatan. Hanya saja, bagi bahasa yang mengenal tingkatan, penentuan kata-kata honorifik sudah ditetapkan secara baku dan sistematis untuk pemakaian setiap tingkatan. Misalnya, bahasa krama inggil (laras tinggi) dalam bahasa Jawa perlu digunakan kepada orang yang tingkat sosial dan usianya lebih tinggi dari pembicara; atau kepada orang yang dihormati oleh pembicara. Walaupun bahasa Indonesia tidak mengenal tingkatan, sebutan kata diri Engkau, Anda, Saudara, Bapak/bu mempunyai efek kesantunan yang berbeda ketika kita pakai untuk menyapa orang. Keempat kalimat berikut menunjukkan tingkat kesantunan ketika seseorang pemuda menanyakan seorang pria yang lebih tua.
(1) Engkau mau ke mana?
(2) Saudara mau ke mana?
(3) Anda mau ke mana?
(4) Bapak mau ke mana?
Percakapan yang tidak menggunakan kata sapaan pun dapat mengakibatkan kekurang santunan bagi penutur. Percakapan via telepon antara mahasiswi dan itri dosen berikut merupakan contoh tindakan yang kurang sopan.
Mahasiswi : Halo, ini rumah Supomo, ya?
Istri : Betul.
Mahasiswi : Ini adiknya, ya?
Istri : Bukan, istrinya. Ini siapa?
Mahasiswi : Mahasiswinya. Dia kan dosen pembimbing saya.
Sudah janjian dengan saya di kampus.
Kok saya tunggu-tunggu tidak ada.
Istri : Oh, begitu, toh.
Mahasiswi :Ya, sudah, kalau begitu. (Telepon langsung ditutup.)
Istri dosen tersebut menganggap bahwa mahasiswa yang baru saja bertelepon itu tidak sopan, hanya karena si mahasiswa tidak mengikuti norma kesantunan berbahasa, yaitu tidak menggunakan kata sapaan ketika menyebut nama dosennya. Bahasa mahasiswa seperti itu bisa saja tepat di masyarakat penutur bahasa lain, tetapi di masyarakat penutur bahasa Indonesia dinilai kurang (bahkan tidak) santun. Oleh karena itu, pantas saja kalau istri dosen tersebut muncul rasa jengkel setelah menerima telepon mahasiswi itu. Ditambah lagi tatacara bertelepon mahasiswi yang juga tidak mengikuti tata krama, yaitu tidak menunjukkan identitas atau nama sebelumnya dan diakhiri tanpa ucapan penutup terima kasih atau salam.
Tujuan utama kesantunan berbahasa adalah memperlancar komunikasi. Oleh karena itu, pemakaian bahasa yang sengaja dibelit-belitkan, yang tidak tepat sasaran, atau yang tidak menyatakan yang sebenarnya karena enggan kepada orang yang lebih tua juga merupakan ketidaksantunan berbahasa. Kenyataan ini sering dijumpai di masyarakat Indonesia karena terbawa oleh budaya “tidak terus terang” dan menonjolkan perasaan. Dalam batas-batas tertentu masih bisa ditoleransi jika penutur tidak bermaksud mengaburkan komunikasi sehingga orang yang diajak berbicara tidak tahu apa yang dimaksudkannya.

D. KESIMPULAN

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinikan “lemah lembut” sebagai ‘baik hati, tidak pemarah, peramah’. Sedangkan “lembut” diartikan sebagai ‘halus dan enak didengar, tidak kasar; tidak keras atau tidak nyaring (tentang suara, bunyi); baik hati (halus budi bahasanya), tidak bengis, tidak pemarah, lembut hati’. Dalam praktiknya, deskripsi ini tercermin pada bagaimana seseorang mengekspresikan tuturan dalam pengaturan intonasi. Karena intonasi mengandung unsur nada (tone), tekanan (stress), dan tempo (duration), maka pengaturan intonasi ni bisa diarahkan pada bagaimana mengatur keras-lemah, tinggi-rendah, dan penjang-pendek suara dalam tuturan. Unsur-unsur ini mengandung makna tersirat yang mengiringi tuturan yang berlangsung yang berlangsung yang dinamakan “makna emosi” penutur.

E. S A R A N
Kami sadar bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi penyajian maupun dari segi tekhnik penulisannya, itu semua dikarenakan keterbatasan kami dalam memperoleh referensi-referensi yang relevan dengan makalah ini dan keterbatasan ilmu pengetahuan kami ini. Oleh karena itu kritik dan saran sangat kami butuhkan untuk penyempurnaan dalam penyusunan makalah yang akan datang.


Bibliografi

Holmes, Janet. 2001. An Introduction to Sociolinguistics. Malaysia : LSP.
Nababan, PWJ. 1986. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: PT Gramedia.

Salam, H Burhanuddin 1987. Etika Sosial: Asas Moral dalam Kehidupan Manusia. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Silzen, Peter. 1990. Bahasa sebagai Ungkapan Perasaan. Makalah. Depok: Fakultas Sastra UI.

www.wikipedia.com

0 komentar:

Posting Komentar